Oleh:
Yosep Heri Kristianto
Latar
Belakang
Pemimpin “Blusukan”
oleh Reza Wattimena idealnya adalah pemimpin yang menggunakan cara-cara
demokratis agar permasalahan di lapangan
terlihat jelas sebagai data untuk
menemukan solusi. Namun, politik “Blusukan” juga memiliki kelemahannya. Ada
jarak yang cukup jauh antara persoalan masyarakat dan lika liku politik di
Indonesia. Blusukan di masyarakat, tanpa “Blusukan” di politik, yang berarti
ikut ambil bagian dalam lobi-lobi politik, juga akan menghambat penerapan
kebijakan politik itu sendiri. Kita sudah melihat, bagaimana DPRD Jakarta kerap
kali mengganjal berbagai kebijakan, karena, mungkin, pimpinan politiknya kurang
“Blusukan” di dalam politik.
Politik “Blusukan”
juga bisa merosot menjadi politik pencitraan, ketika pimpinan politik hanya
berkeliling di masyarakat, supaya terlihat peduli, namun tak ada keputusan
nyata yang bisa membantu memecahkan pesoalan-persoalan sosial masyarakat.
Masyarakat Indonesia tentu sudah muak dengan politik pencitraan. Ketika
masyarakat melihat “Blusukan” sebagai semata-mata proses pencitraan,
kepercayaan terhadap pimpinan politik pun akan luntur, dan itu tentu saja amat
buruk untuk kehidupan sosial politik.
Menimbang
berbagai kelemahan dan kekurangannya, politik “Blusukan” tetap perlu dijalankan
oleh para pimpinan politik kita di Indonesia, asalkan tetap mempertimbangkan
efisiensi dan keterukuran kinerja. Politik “Blusukan” jelas cocok dengan
masyarakat demokratis, di mana kebutuhan masyarakat yang menjadi prioritas
utama. Namun, “Blusukan” tetap harus dibarengi dengan langkah-langkah terukur
untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang nyata, mulai dari persoalan
kecil (trotoar untuk pejalan kaki) sampai dengan yang paling besar (banjir dan
macet).
Salah satu opini
Anies Baswedan pada Harian Kompas, Senin 25 Juli 2011, Halaman 6 pada Rubrik
Opini yang mengatakan bahwa “Pemimpin tak boleh kirim ratapan, pemimpin harus
kirim harapan”. Ungkapan tersebut dapat dipahami sebagai peringatan pedas untuk
para pemimpin di Indonesia. Melihat realita sehari-hari di lingkungan sekitar,
banyak pemimpin yang masih menggunakan kekuasaan demi kepuasan diri dan
keluarganya. Hal ini berdampak buruk pada pola berpikir masyarakat. Gaya
kepemimpinan yang mementingkan diri sendiri mau tidak mau pasti akan menjadi
cerminan bagi masyarakat. Peran pemimpin di sini sangat sentra berkaitan dengan
kemajuan anggota beserta masyrakat di bawahnya. Hal ini berkaitan dengan berita
di kompas.com, “Jakarta - Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi)
meninjau proses pengerukan drainase dan pembuatan tanggul di Jalan S Parman.
Jokowi turun ke lapangan didampingi oleh Kepala Dinas PU DKI Manggas Rudi
Siahaan”. Berita tersebut menggambarkan sosok pemimpin yang mau turun ke
lapangan untuk melihat secara detail proses penggerukan drainase dan pembuatan
tanggul. Pemimpin yang seperti ini tidak mau kepentingan masyarakat hancur
hanya karena pengerjaan teknis yang tidak baik. Data yang diperolehpun akurat
karena melihat langsung keadaan yang ada, masyarakatpun secara tidak langsung
merasa diperhatikan dengan kedatangan pemimpin yang memimpinnya. Gaya semacam
ini tentu memiliki kelebihannya sendiri. Setiap kebijakan politik yang bermutu
lahir dari data-data yang akurat. Namun, data-data yang diberikan kepada para
pemimpin politik seringkali tidak akurat, sehingga kebijakan yang dibuat pun
akhirnya tidak menyelesaikan masalah yang ada, justru memperbesarnya. Jarak
antara data, yang biasanya berupa statistik, dengan kenyataan di lapangan
inilah yang bisa diperkecil dengan gaya kepemimpinan ”Blusukan”.
Gaya
kepemimpinan “Blusukan” dapat menunjukkan kebenaran data nyata dibanding data
yang diperoleh dari statistik. Apa yang ditangkap oleh data statistic biasanya
berbeda dengan keadaan nyata di lapangan. Gaya kepemimpinan seperti ini
memudahkan pemimpin bertemu langsung dengan warganya. Hal ini memudahkan
pemimpin berdiskusi dan bernegosiasi terkait permasalahan yang ada pada
mayarakat. Selain itu, pemimpin memndapatkan kepercayaan diri yang lebih karena
mampu berinteraksi social dengan masyarakat.
Senada dengan
pendapat dari Peter F. Druker (dalam Mustafa, 2013) menyatakan bahwa, “para
pemimpin bangsa abad 21 haruslah memiliki Sumber Daya Manusia yang mempunyai
kemampuan paling sedikit 3 bidang kemampuan atau kompetensi, (M.H. Matondang,
2008) yaitu :
1. Kompetensi
Pribadi (personal mastery)
2. Kompetensi
Kepemimpinan (leadership mastery)
3. Kompetensi
Organisasi (organzational mastery)
Kemudian
dari tiga komponen besar ini maka pemimpin sebuah organisasi haruslah dapat
memahami dan belajar siapa dirinya, apa yang berarti bagi kehidupannya, dan
kemudian mempunyai keberanian untuk bertindak dan memperjuangkannya.
Melihat dari
beberapa pandangan di lapangan, pemimpin “Blusukan” digunakan sebagai
pencitraan belaka untuk menarik perhatian masyarakat beserta
anggota-anggotanya. Hal ini menjadikan pembodohan structural bagi masyarakat.
Idealnya pemimpin “Blusukan” menggunakan kekuasaannya bukan untuk mencari nama
tetapi benar-benar mencari data dan berdiskusi dengan masyarakat guna
kepentingan masyarakat yang memang membutuhkannya.
Oleh karena itu
perlu dikaji detail apa makna dan esensi dari gaya kepemimpinan “Blusukan”
tersebut agar masyarakatpun tahu apa maksud pemimpin yang bergaya “Blusukan”
tersebut. Sebenarnya gaya kepemimpinan ini baru di Indonesia tetapi merujuk
pada kepemimpinan Transformasional dengan berbagai kriterianya, gaya
kepemimpinan “Blusukan” dipandang sebagai perspektif dari kepemimpinan
Transformasional. Kebermanfaatan paper ini penting bagi masyarakat sebagai
referensi tentang gaya kepemimpinan
Penelitian yang Sebelumnya
Iis Torisa
Utami,SE,MM Dosen Tetap Akademi Sekretari Universitas Budi Luhur melakukan
penelitian yang berjudul “Pengaruh Gaya
Kepemimpinan Transformasional Terhadap Motivasi Kerja Karyawan Pada PT. Trade
Servistama Indonesia-Tangerang “. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap motivasi kerja karyawan PT
Trade Servistama Indonesia. Variable yang menjadi focus dalam penelitian ini
adalah gaya kepemimpinan transformasional terhadap motivasi kerja karyawan.
Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dan hasil penelitian diolah
dengan menggunakan program SPSS versi 15.0 Dari hasil uji statistic tersebut
dengan menggunakan program SPSS versi 15.0 mellaui uji korelasi Product Moment
dan Alpha Cronbach terhadap 26 responden diperoleh hasil uji validitas untuk
variable gaya kepemimpinan transformasional sebesar 0,822 dan motivasi kerja
karyawan sebesar 0,806, nilai tersebut diatas 0,60 sehia semua instrument dapat
dikatakan handal/reliable. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa variable gaya
kepemimpinan transformasional secara langsung memiliki hubungan yang sangat
kuat terhadap motivasi kerja karyawan sebesar 54,2% dengan taraf signifikansi
sebesae *0,002, selain itu hasil uji ANOVA diperoleh nilai F hitung sebesar
26,168 dengan tingkat signifikansi *0,000. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan transformasional
secara parsial dan simultan berpengaruh terhadap motivasi kerja karyawan PT
Trade Servistama Indonesia.
Penelitian kedua
yaitu dari Wagimo dan Djamaludin (2005) mengungkapkan bahwa
tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menguji korelasi antara variabel kepemimpinan dan motivasi pengikut ' di
militer. Ada beberapa hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini . (1) Ada
hubungan positif dan signifikan antara kedua kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan
transaksional dengan pengikut motivasi , (2) Ada positif dan signifikan korelasi
antara kepemimpinan transformasional dan motivasi pengikut , (3) Ada korelasi
yang signifikan dan positif antara kepemimpinan transaksional dan pengikut ' motivasi
, dan (4) Korelasi antara kepemimpinan transformasional dan pengikut motivasi lebih kuat daripada korelasi antara
kepemimpinan transaksional dan pengikut' motivasi. Subyek penelitian ini adalah
110 anggota Indonesian Militer (Bintara dan
Tamtama) yang mengikuti Setukpa dan Pendidikan Setukba di Indonesia National Air
Force. Penelitian ini menggunakan 2 jenis kuesioner . Pertama adalah angket motivasi , dan kedua adalah kuesioner kepemimpinan. Hasil mendukung semua hipotesis penelitian ; ( 1 ) F - reg = 24.660 ; ( 2 ) r = 0.559 ; ( 3 ) r = 0,225 ; ( 4 ) r = 0.559 .
Tamtama) yang mengikuti Setukpa dan Pendidikan Setukba di Indonesia National Air
Force. Penelitian ini menggunakan 2 jenis kuesioner . Pertama adalah angket motivasi , dan kedua adalah kuesioner kepemimpinan. Hasil mendukung semua hipotesis penelitian ; ( 1 ) F - reg = 24.660 ; ( 2 ) r = 0.559 ; ( 3 ) r = 0,225 ; ( 4 ) r = 0.559 .
Dasar
Teori
Gaya
Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan Transformasional
(Transformational Leadership) Model kepemimpinan
transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Model ini dianggap sebagai
model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep
kepemimpinan transformasional mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam
pendekatan watak, gaya dankontingensi. Burns (1978) merupakan salah satu
penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional.
Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan
transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan
transaksional.
Kepemimpinan
transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam
organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang
pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk
mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung
memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi
agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat
mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya,
Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya
menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan
tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan.
Pemimpin
transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan
mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui
kredibilitas pemimpinnya. Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the
dynamic of transformational leadership involve strong personal identification
with the leader, joining in a shared vision of the future, or going beyond the
self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan demikian,
pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai
peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya.
Pemimpin transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi
masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat
yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan.
Menurut
Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para
bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri
demi kepentingan organisasi yang lebih besar. Yammarino dan Bass (1990) juga
menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan
organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual,
dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan
demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan
para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat
organisasi maupun pada tingkat individu. Dalam buku mereka yang berjudul "Improving Organizational Effectiveness
through Transformational Leadership", Bass dan Avolio (1994)
mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang
disebutnya sebagai "the Four
I's". Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence
(pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku
pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus
mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation
(motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan
sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap
prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan
organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan
entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual
stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu
menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap
permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada
bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan
tugas-tugas organisasi. Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized
consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin
transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan
dengan penuh perhatian masukanmasukan bawahan dan secara khusus mau
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun
penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relative baru, beberapa
hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass
dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa
model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik
dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996).
Konsep
kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan
dalam pendekatan-pendekatan watak (trait),
gaya (style) dan kontingensi, dan
juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan
konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti
misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978). Beberapa
ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan
kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik,
inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary).
Meskipun terminology yang digunakan berbeda, namun fenomena fenomana
kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak
persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) menyebut kepemimpinan
transformasional sebagai kepemimpinan baru (the
new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai
pemimpin penerobos (breakthrough
leadership). Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini
mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar
terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu
dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan
inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih
baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua
pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi
yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin penerobos
memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan
dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya.
Pemimpin
penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini
sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigm untuk mengembangkan
praktekpraktek organisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih
relevan. Metanoia berasal dari kata Yunani meta yang berarti perubahan, dan
nous/noos yang berarti pikiran. Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang
makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi
yang sangat tinggi (hyper-competition).
Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat sementara
(transitory). Oleh karena itu,
perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus
mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan
dengan kondisi persaingan baru. Pemimpin transformasional dianggap sebagai
model pemimpin yang tepat dan yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan
efisiensi, produktifitas, dan inovasi usaha guna meningkatkan daya saing dalam
dunia yang lebih bersaing. Sejauh mana seorang pemimpin disebut
transformasional dapat diukur dalam hubungannya dengan efek pemimpin tersebut
terhadap para bawahan. Bawahan seorang pemimpin transformasional merasa adanya
kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan hormat terhadap pemimpin tersebut dan
mereka termotivasi untuk melakukan hal-hal yang lebih dari pada yang awalnya
diharapkan pemimpin. Pemimpin tersebut memotivasi para bawahan dengan :
1. Membuat
mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan,
2. Mendorong
mereka untuk lebih mementingkan organisasi dari pada diri sendiri,
3. Mengaktifkan
kebutuhan-kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi.
Avolio &
Bass (1987) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional berbeda dengan
kepemimpinan transaksional dalam dua hal. Pertama, meskipun pemimpin
transformasional yang efektif juga mengenali kebutuhan bawahan, mereka berbeda
dari pemimpin transaksional aktif. Pemimpin transformasional yang efektif
berusaha menaikkan kebutuhan bawahan. Motivasi yang meningkat dapat dicapai
dengan menaikkan harapan akan kebutuhan dan kinerjanya. Misalnya, bawahan di
dorong mengambil tanggungjawab lebih besar dan memiliki otonomi dalam bekerja. Kedua,
pemimpin transformasional berusaha mengembangkan bawahan agar mereka juga
menjadi pemimpin. Sebelum Bass mengindikasikan ada tiga ciri kepemimpinan transformasional
yaitu karismatik, stimulasi intelektual dan perhatian secara individual
mengindikasikan inspirasional termasuk ciri-ciri kepemimpinan transformasional.
Dengan demikian ciri-ciri kepemimpinan transformasional terdiri dari karismatik,
inspirasional, stimulasi intelektual dan perhatian secara individual.
a)
Karismatik.
Karismatik menurut Yukl (1998) merupakan kekuatan
pemimpin yang besar untuk memotivasi bawahan dalam melaksanakan tugas. Bawahan mempercayai
pemimpin karena pemimpin dianggap mempunyai pandangan, nilai dan tujuan yang
dianggapnya benar. Oleh sebab itu pemimpin yang mempunyai karisma lebih besar
dapat lebih mudah mempengaruhi dan mengarahkan bawahan agar bertindak sesuai dengan
apa yang diinginkan oleh pemimpin. Selanjutnya dikatakan kepemimpinan
karismatik dapat memotivasi bawahan untuk mengeluarkan upaya kerja ekstra
karena mereka menyukai pemimpinnya.
b)
Inspirasional.
Perilaku pemimpin inspirational menurut Yukl &
Fleet (dalam Bass, 1985) dapat merangsang antusiame bawahan terhadap
tugas-tugas kelompok dan dapat mengatakan hal-hal yang dapat menumbuhkan
kepercayaan bawahan terhadap kemampuan untuk menyelesaikan tugas dan mencapai
tujuan kelompok.
c)
Stimulasi Intelektual.
Menurut Yukl (1998; Deluga; 1998; Bycio, dkk, 1995)
stimulasi intelektual merupakan upaya bawahan terhadap persoalan-persoalan dan
mempengaruhi bawahan untuk melihat persoalan-persoalan tersebut melalui
perspektif baru, sedangkan oleh Seltzer dan Bass (1990) dijelaskan bahwa
melalui stimulasi intelektual, pemimpin merangsang kreativitas bawahan dan
mendorong untuk menemukan pendekatan - pendekatan baru terhadap masalah-masalah
lama. Jadi, melalui stimulasi intelektual, bawahan didorong untuk berpikir
mengenai relevansi cara, system nilai, kepercayaan, harapan dan didorong
melakukan inovasi dalam menyelesaikan persoalan melakukan inovasi dalam menyelesaikan
persoalan dan berkreasi untuk mengembangkan kemampuan diri serta disorong untuk
menetapkan tujuan atau sasaran yang menantang. Kontribusi intelektual dari
seorang pemimpin pada bawahan harus didasari sebagai suatu upaya untuk memunculkan
kemampuan bawahan. Hal itu dibuktikan dalam penelitian Seltzer dan bass (1990)
bahwa aspek stimulasi intelektual berkorlasi positif dengan extra effort.
Maksudnya, pemimpin yang dapat memberikan kontribusi intelektual senantiasa
mendorong staf supaya mapu mencurahkan upaya untuk perencanaan dan pemecahan
masalah.
d)
Perhatian secara Individual
Perhatian atau pertimbangan terhadap perbedaan
individual implikasinya adalah memelihara kontak langsung (face to face) dan komunikasi terbuka dengan para pegawai. Zalesnik
(1977; dalam Bass, 1985) mengatakan, bahwa pengaruh personal dan hubungan satu
persatu antara atasan-bawahan merupakan hal terpenting yang utama. Perhatian
secara individual tersebut dapat sebagai indentifikasi awal terhadap para
bawahan terutama bawahan yang mempunyai potensi untuk menjadi seorang pemimpin.
Sedangkan monitoring merupakan bentuk perhatian individual yang ditunjukkan
melalui tindakan konsultasi, nasehat dan tuntutan yang diberikan oleh senior
kepada yunior yang belum berpengalaman bila dibandingkan dengan seniornya. Heater
dan Bass (1998) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional lebih menarik
bagi karyawan yang berpendidikan tinggi karena karyawan yang berpendidikan
tinggi mendambakan tantangan kerja yang dapat menambah profesionalis dan
pengembangan diri. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Keller (1992) bahwa
mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi mempunyai minat mendalam dalam
menghadapi tantangan kerja dan bawahan yang mempunyai pendidikan tinggi dapat
mendukung memberi respon terhadap kepemimpinan transformasional. Respon positif
tersebut dapat mempengaruhi tingkat motivasi bawahan sehingga bawahan juga akan
meningkatkan upayanya atau melakukan extra effort untuk mendapatkan hasil kerja
lebih tinggi dari yang diharapkan. Sedangkan bass (1985) mengatakan, kepemimpinan
transformasional lebih memungkinkan muncul dalam organisasi yang memiliki
kehangatandan kepercayaan yang tinggi juga berpendidikan tinggi, diharapkan
dengan pendidikan tinggi dapat menjadi orang yang kreatif.
Gaya Kepemimpinan “Blusukan”
Menurut reza dalam perspektifnya mengungkapkan
bahwa, gaya semacam ini tentu memiliki kelebihannya sendiri. Setiap kebijakan
politik yang bermutu lahir dari data-data yang akurat. Namun, data-data yang
diberikan kepada para pemimpin politik seringkali tidak akurat, sehingga
kebijakan yang dibuat pun akhirnya tidak menyelesaikan masalah yang ada, justru
memperbesarnya. Jarak antara data, yang biasanya berupa statistik, dengan
kenyataan di lapangan inilah yang bisa diperkecil dengan gaya politik Blusukan.
Apa yang ditangkap statistik seringkali berbeda, dan
bahkan bertentangan, dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat luas. Inilah
salah satu masalah politik di Indonesia, dan juga di berbagai belahan dunia
lainnya, yang seringkali diabaikan, karena kemalasan berpikir kritis. Dapat
juga dikatakan, politik “Blusukan” ini adalah politik kritis yang menolak untuk
tunduk patuh pada data statistik ciptaan para birokrat, dan berusaha sendiri
mencari apa yang nyata terjadi.
Politik “Blusukan” juga memungkinkan para pemimpin
politik bertatap muka langsung dengan warganya. Interaksi ini tentu saja
membangun kedekatan dan rasa percaya, yang amat penting sebagai pengikat
masyarakat, supaya tak mudah pecah, dan bisa bekerja sama menyelesaikan
berbagai persoalan yang ada. Hal ini dapat dikatakan bahwa rasa percaya dan
kedekatan ini adalah fondasi dari masyarakat demokratis.
Dengan politik “Blusukan”, para pemimpin politik
bisa memeriksa langsung, apakah keputusan yang telah ia buat dijalankan dengan
baik atau tidak. Dari sudut pandangan metode berpikir ilmiah, ini disebut juga
verifikasi. Banyak pemimpin lupa memeriksa lagi, apakah kebijakan yang telah
dibuat sungguh membantu masyarakat atau tidak. Dengan politik Blusukan, gaya
lama semacam ini bisa dihindari.
Gaya kepemimpinan “Blusukan”
sebagai perspektif gaya kepemimpinan Transformasional”
Implementasi kepemimpinan transformasional ini bukan
hanya tepat dilakukan di lingkungan birokrasi, tetapi juga di berbagai
organisasi yang memilik banyak tenaga potensial dan berpendidikan. Secara
organisasional, Leitwood dan Janzi (1990) bahwa penerapan model kepemimpinan
ini sangat bermanfaat untuk (1) membangun budaya kerjasama dan profesionalitas
diantara pegawai, (2) memotivasi pimpinan untuk mengmbangkan diri, dan (3)
membantu pimpinan memecahkan masalah secara efektif. Implementasi kepemimpinan
transformasional dengan budaya kerjasama dan profesionalitas, pemimpin akan
selalu memfasilitasi pegawainya untuk berdialog, berdiskusi, dan merencanakan
pekerjaan bersama. Kerjasama yang terbentuk dari kegiatan ini akan memudahkan
mereka saling mengingatkan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan. Kebersamaan
ini ini juga dilakukan dalam merumuskan visi dan misi organisasi, sehingga
komitmen lebih mudah terbangun. Dalam kepemimpinan “Blusukan juga dikatakan
demikian juga yang mana Politik “Blusukan” juga memungkinkan para pemimpin
politik menumbuhkembangkan para anggotanya untuk melaksanakan berbagai
kebijakan sesuai dengan visi pemimpin dan organisasi tersebut besertas
masyarakatnya. Hal ini pemimpin benar-benar memanusiakan manusia dengan
berbagai komunikasi yang sangat baik. Interaksi ini tentu saja membangun
kedekatan dan rasa percaya, yang amat penting sebagai pengikat masyarakat,
supaya tak mudah pecah, dan bisa bekerja sama menyelesaikan berbagai persoalan
yang ada. Hal ini dapat dikatakan bahwa rasa percaya dan kedekatan ini adalah
fondasi dari masyarakat demokratis. Hal ini mengapa dikatakan kepemimpinan
“Blusukan” sebagai perspektif gaya kepemimpinan transformasional, karena memang
terdapat keterkaitan satu sama lain.
D. Kesimpulan
a)
Kesimpulan
Sesuai
dengan dasar teori, penelitian yang relevan, dan data-data akurat dari surat
kabar dapat dikatakan bahwa gaya kepemimpinan “Blusukan” merupakan perspektif
gaya kepemimpinan transformasional. Hal ini dapat dijelaskan dari berbagai
faktor gaya kepemimpinan “Blusukan”
merupakan bagian dari gaya kepemimpinantransformasional. Mulai dari karismatik¸
inspirasional, stimulasi intelektual, perhatian secara individual merupakan
modal yang utuh dalam gaya kepemimpinan “Blusukan”
E. Referensi
Wibawa. Jurnal Manajemen dan Kepemimpinan Transaksional dan Kepemimpinan
Transformasional,
4-11
Utami.
(2005). Pengaruh Gaya Kepemimpinan
Transformasional Terhadap Motivasi Kerja Karyawan Pada Pt Trade Servistama
Indonesia-Tangerang
Baswedan.
(2011, Juli 11). Peringatan Pada
Pemimpin. Kompas, 6
Mustafa (2013).
Diklat Provinsi jawa Tengah Kepemimpinan Berani Dan
Transformasional
Perspektif
Gaya Blusukan Jokowi
Wagimo dan Djamaludin. Dalam Jurnal Psikologi Hubungan Kepemimpinan Transformasional dan
Transaksional dengan Motivasi Bawahan di Militer, 112
0 comments:
Posting Komentar