Kamis, 15 Mei 2014

GAYA KEPEMIMPINAN “BLUSUKAN” SEBAGAI PERSPEKTIF GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL



Oleh:
                                                        Yosep Heri Kristianto       

        Latar Belakang
Pemimpin “Blusukan” oleh Reza Wattimena idealnya adalah pemimpin yang menggunakan cara-cara demokratis agar permasalahan di lapangan
terlihat jelas sebagai data untuk menemukan solusi. Namun, politik “Blusukan” juga memiliki kelemahannya. Ada jarak yang cukup jauh antara persoalan masyarakat dan lika liku politik di Indonesia. Blusukan di masyarakat, tanpa “Blusukan” di politik, yang berarti ikut ambil bagian dalam lobi-lobi politik, juga akan menghambat penerapan kebijakan politik itu sendiri. Kita sudah melihat, bagaimana DPRD Jakarta kerap kali mengganjal berbagai kebijakan, karena, mungkin, pimpinan politiknya kurang “Blusukan” di dalam politik.
Politik “Blusukan” juga bisa merosot menjadi politik pencitraan, ketika pimpinan politik hanya berkeliling di masyarakat, supaya terlihat peduli, namun tak ada keputusan nyata yang bisa membantu memecahkan pesoalan-persoalan sosial masyarakat. Masyarakat Indonesia tentu sudah muak dengan politik pencitraan. Ketika masyarakat melihat “Blusukan” sebagai semata-mata proses pencitraan, kepercayaan terhadap pimpinan politik pun akan luntur, dan itu tentu saja amat buruk untuk kehidupan sosial politik.
Menimbang berbagai kelemahan dan kekurangannya, politik “Blusukan” tetap perlu dijalankan oleh para pimpinan politik kita di Indonesia, asalkan tetap mempertimbangkan efisiensi dan keterukuran kinerja. Politik “Blusukan” jelas cocok dengan masyarakat demokratis, di mana kebutuhan masyarakat yang menjadi prioritas utama. Namun, “Blusukan” tetap harus dibarengi dengan langkah-langkah terukur untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang nyata, mulai dari persoalan kecil (trotoar untuk pejalan kaki) sampai dengan yang paling besar (banjir dan macet).
Salah satu opini Anies Baswedan pada Harian Kompas, Senin 25 Juli 2011, Halaman 6 pada Rubrik Opini yang mengatakan bahwa “Pemimpin tak boleh kirim ratapan, pemimpin harus kirim harapan”. Ungkapan tersebut dapat dipahami sebagai peringatan pedas untuk para pemimpin di Indonesia. Melihat realita sehari-hari di lingkungan sekitar, banyak pemimpin yang masih menggunakan kekuasaan demi kepuasan diri dan keluarganya. Hal ini berdampak buruk pada pola berpikir masyarakat. Gaya kepemimpinan yang mementingkan diri sendiri mau tidak mau pasti akan menjadi cerminan bagi masyarakat. Peran pemimpin di sini sangat sentra berkaitan dengan kemajuan anggota beserta masyrakat di bawahnya. Hal ini berkaitan dengan berita di kompas.com, “Jakarta - Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) meninjau proses pengerukan drainase dan pembuatan tanggul di Jalan S Parman. Jokowi turun ke lapangan didampingi oleh Kepala Dinas PU DKI Manggas Rudi Siahaan”. Berita tersebut menggambarkan sosok pemimpin yang mau turun ke lapangan untuk melihat secara detail proses penggerukan drainase dan pembuatan tanggul. Pemimpin yang seperti ini tidak mau kepentingan masyarakat hancur hanya karena pengerjaan teknis yang tidak baik. Data yang diperolehpun akurat karena melihat langsung keadaan yang ada, masyarakatpun secara tidak langsung merasa diperhatikan dengan kedatangan pemimpin yang memimpinnya. Gaya semacam ini tentu memiliki kelebihannya sendiri. Setiap kebijakan politik yang bermutu lahir dari data-data yang akurat. Namun, data-data yang diberikan kepada para pemimpin politik seringkali tidak akurat, sehingga kebijakan yang dibuat pun akhirnya tidak menyelesaikan masalah yang ada, justru memperbesarnya. Jarak antara data, yang biasanya berupa statistik, dengan kenyataan di lapangan inilah yang bisa diperkecil dengan gaya kepemimpinan ”Blusukan”.
Gaya kepemimpinan “Blusukan” dapat menunjukkan kebenaran data nyata dibanding data yang diperoleh dari statistik. Apa yang ditangkap oleh data statistic biasanya berbeda dengan keadaan nyata di lapangan. Gaya kepemimpinan seperti ini memudahkan pemimpin bertemu langsung dengan warganya. Hal ini memudahkan pemimpin berdiskusi dan bernegosiasi terkait permasalahan yang ada pada mayarakat. Selain itu, pemimpin memndapatkan kepercayaan diri yang lebih karena mampu berinteraksi social dengan masyarakat.
Senada dengan pendapat dari Peter F. Druker (dalam Mustafa, 2013) menyatakan bahwa, “para pemimpin bangsa abad 21 haruslah memiliki Sumber Daya Manusia yang mempunyai kemampuan paling sedikit 3 bidang kemampuan atau kompetensi, (M.H. Matondang, 2008) yaitu :
1.   Kompetensi Pribadi (personal mastery)
2.   Kompetensi Kepemimpinan (leadership mastery)
3.   Kompetensi Organisasi (organzational mastery)
Kemudian dari tiga komponen besar ini maka pemimpin sebuah organisasi haruslah dapat memahami dan belajar siapa dirinya, apa yang berarti bagi kehidupannya, dan kemudian mempunyai keberanian untuk bertindak dan memperjuangkannya.
Melihat dari beberapa pandangan di lapangan, pemimpin “Blusukan” digunakan sebagai pencitraan belaka untuk menarik perhatian masyarakat beserta anggota-anggotanya. Hal ini menjadikan pembodohan structural bagi masyarakat. Idealnya pemimpin “Blusukan” menggunakan kekuasaannya bukan untuk mencari nama tetapi benar-benar mencari data dan berdiskusi dengan masyarakat guna kepentingan masyarakat yang memang membutuhkannya.
Oleh karena itu perlu dikaji detail apa makna dan esensi dari gaya kepemimpinan “Blusukan” tersebut agar masyarakatpun tahu apa maksud pemimpin yang bergaya “Blusukan” tersebut. Sebenarnya gaya kepemimpinan ini baru di Indonesia tetapi merujuk pada kepemimpinan Transformasional dengan berbagai kriterianya, gaya kepemimpinan “Blusukan” dipandang sebagai perspektif dari kepemimpinan Transformasional. Kebermanfaatan paper ini penting bagi masyarakat sebagai referensi tentang gaya kepemimpinan

             Penelitian yang Sebelumnya
Iis Torisa Utami,SE,MM Dosen Tetap Akademi Sekretari Universitas Budi Luhur melakukan penelitian yang berjudul  “Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional Terhadap Motivasi Kerja Karyawan Pada PT. Trade Servistama Indonesia-Tangerang “. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap motivasi kerja karyawan PT Trade Servistama Indonesia. Variable yang menjadi focus dalam penelitian ini adalah gaya kepemimpinan transformasional terhadap motivasi kerja karyawan. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dan hasil penelitian diolah dengan menggunakan program SPSS versi 15.0 Dari hasil uji statistic tersebut dengan menggunakan program SPSS versi 15.0 mellaui uji korelasi Product Moment dan Alpha Cronbach terhadap 26 responden diperoleh hasil uji validitas untuk variable gaya kepemimpinan transformasional sebesar 0,822 dan motivasi kerja karyawan sebesar 0,806, nilai tersebut diatas 0,60 sehia semua instrument dapat dikatakan handal/reliable. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa variable gaya kepemimpinan transformasional secara langsung memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap motivasi kerja karyawan sebesar 54,2% dengan taraf signifikansi sebesae *0,002, selain itu hasil uji ANOVA diperoleh nilai F hitung sebesar 26,168 dengan tingkat signifikansi *0,000. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan transformasional secara parsial dan simultan berpengaruh terhadap motivasi kerja karyawan PT Trade Servistama Indonesia.
Penelitian kedua yaitu dari Wagimo dan Djamaludin (2005) mengungkapkan bahwa
tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji korelasi antara variabel kepemimpinan dan motivasi pengikut ' di militer. Ada beberapa hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini . (1) Ada hubungan positif dan signifikan antara kedua kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional dengan pengikut motivasi , (2) Ada positif dan signifikan korelasi antara kepemimpinan transformasional dan motivasi pengikut , (3) Ada korelasi yang signifikan dan positif antara kepemimpinan transaksional dan pengikut ' motivasi , dan (4) Korelasi antara kepemimpinan transformasional dan pengikut  motivasi lebih kuat daripada korelasi antara kepemimpinan transaksional dan pengikut' motivasi. Subyek penelitian ini adalah 110 anggota Indonesian Militer (Bintara dan
Tamtama) yang mengikuti Setukpa dan Pendidikan Setukba di Indonesia National Air
Force. Penelitian ini menggunakan 2 jenis kuesioner . Pertama adalah angket motivasi , dan kedua adalah kuesioner kepemimpinan. Hasil mendukung semua hipotesis penelitian ; ( 1 ) F - reg = 24.660 ; ( 2 ) r = 0.559 ; ( 3 ) r = 0,225 ; ( 4 ) r = 0.559 .

               Dasar Teori
Gaya Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan Transformasional (Transformational Leadership) Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi   kepemimpinan. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dankontingensi. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional.
Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan.
Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya. Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or going beyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan.
Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar. Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu. Dalam buku mereka yang berjudul "Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership", Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's". Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi. Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukanmasukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relative baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996).
Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978). Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminology yang digunakan berbeda, namun fenomena fenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership). Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya.
Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigm untuk mengembangkan praktekpraktek organisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasal dari kata Yunani meta yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran. Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi persaingan baru. Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing. Sejauh mana seorang pemimpin disebut transformasional dapat diukur dalam hubungannya dengan efek pemimpin tersebut terhadap para bawahan. Bawahan seorang pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan hormat terhadap pemimpin tersebut dan mereka termotivasi untuk melakukan hal-hal yang lebih dari pada yang awalnya diharapkan pemimpin. Pemimpin tersebut memotivasi para bawahan dengan :
1.      Membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan,
2.      Mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi dari pada diri sendiri,
3.      Mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi.
Avolio & Bass (1987) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional berbeda dengan kepemimpinan transaksional dalam dua hal. Pertama, meskipun pemimpin transformasional yang efektif juga mengenali kebutuhan bawahan, mereka berbeda dari pemimpin transaksional aktif. Pemimpin transformasional yang efektif berusaha menaikkan kebutuhan bawahan. Motivasi yang meningkat dapat dicapai dengan menaikkan harapan akan kebutuhan dan kinerjanya. Misalnya, bawahan di dorong mengambil tanggungjawab lebih besar dan memiliki otonomi dalam bekerja. Kedua, pemimpin transformasional berusaha mengembangkan bawahan agar mereka juga menjadi pemimpin. Sebelum Bass mengindikasikan ada tiga ciri kepemimpinan transformasional yaitu karismatik, stimulasi intelektual dan perhatian secara individual mengindikasikan inspirasional termasuk ciri-ciri kepemimpinan transformasional. Dengan demikian ciri-ciri kepemimpinan transformasional terdiri dari karismatik, inspirasional, stimulasi intelektual dan perhatian secara individual.
                   a)      Karismatik.
Karismatik menurut Yukl (1998) merupakan kekuatan pemimpin yang besar untuk memotivasi bawahan dalam melaksanakan tugas. Bawahan mempercayai pemimpin karena pemimpin dianggap mempunyai pandangan, nilai dan tujuan yang dianggapnya benar. Oleh sebab itu pemimpin yang mempunyai karisma lebih besar dapat lebih mudah mempengaruhi dan mengarahkan bawahan agar bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemimpin. Selanjutnya dikatakan kepemimpinan karismatik dapat memotivasi bawahan untuk mengeluarkan upaya kerja ekstra karena mereka menyukai pemimpinnya.
                    b)      Inspirasional.
Perilaku pemimpin inspirational menurut Yukl & Fleet (dalam Bass, 1985) dapat merangsang antusiame bawahan terhadap tugas-tugas kelompok dan dapat mengatakan hal-hal yang dapat menumbuhkan kepercayaan bawahan terhadap kemampuan untuk menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan kelompok.
                    c)      Stimulasi Intelektual.
Menurut Yukl (1998; Deluga; 1998; Bycio, dkk, 1995) stimulasi intelektual merupakan upaya bawahan terhadap persoalan-persoalan dan mempengaruhi bawahan untuk melihat persoalan-persoalan tersebut melalui perspektif baru, sedangkan oleh Seltzer dan Bass (1990) dijelaskan bahwa melalui stimulasi intelektual, pemimpin merangsang kreativitas bawahan dan mendorong untuk menemukan pendekatan - pendekatan baru terhadap masalah-masalah lama. Jadi, melalui stimulasi intelektual, bawahan didorong untuk berpikir mengenai relevansi cara, system nilai, kepercayaan, harapan dan didorong melakukan inovasi dalam menyelesaikan persoalan melakukan inovasi dalam menyelesaikan persoalan dan berkreasi untuk mengembangkan kemampuan diri serta disorong untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang menantang. Kontribusi intelektual dari seorang pemimpin pada bawahan harus didasari sebagai suatu upaya untuk memunculkan kemampuan bawahan. Hal itu dibuktikan dalam penelitian Seltzer dan bass (1990) bahwa aspek stimulasi intelektual berkorlasi positif dengan extra effort. Maksudnya, pemimpin yang dapat memberikan kontribusi intelektual senantiasa mendorong staf supaya mapu mencurahkan upaya untuk perencanaan dan pemecahan masalah.
                         d)     Perhatian secara Individual
Perhatian atau pertimbangan terhadap perbedaan individual implikasinya adalah memelihara kontak langsung (face to face) dan komunikasi terbuka dengan para pegawai. Zalesnik (1977; dalam Bass, 1985) mengatakan, bahwa pengaruh personal dan hubungan satu persatu antara atasan-bawahan merupakan hal terpenting yang utama. Perhatian secara individual tersebut dapat sebagai indentifikasi awal terhadap para bawahan terutama bawahan yang mempunyai potensi untuk menjadi seorang pemimpin. Sedangkan monitoring merupakan bentuk perhatian individual yang ditunjukkan melalui tindakan konsultasi, nasehat dan tuntutan yang diberikan oleh senior kepada yunior yang belum berpengalaman bila dibandingkan dengan seniornya. Heater dan Bass (1998) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional lebih menarik bagi karyawan yang berpendidikan tinggi karena karyawan yang berpendidikan tinggi mendambakan tantangan kerja yang dapat menambah profesionalis dan pengembangan diri. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Keller (1992) bahwa mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi mempunyai minat mendalam dalam menghadapi tantangan kerja dan bawahan yang mempunyai pendidikan tinggi dapat mendukung memberi respon terhadap kepemimpinan transformasional. Respon positif tersebut dapat mempengaruhi tingkat motivasi bawahan sehingga bawahan juga akan meningkatkan upayanya atau melakukan extra effort untuk mendapatkan hasil kerja lebih tinggi dari yang diharapkan. Sedangkan bass (1985) mengatakan, kepemimpinan transformasional lebih memungkinkan muncul dalam organisasi yang memiliki kehangatandan kepercayaan yang tinggi juga berpendidikan tinggi, diharapkan dengan pendidikan tinggi dapat menjadi orang yang kreatif.
Gaya Kepemimpinan “Blusukan”
Menurut reza dalam perspektifnya mengungkapkan bahwa, gaya semacam ini tentu memiliki kelebihannya sendiri. Setiap kebijakan politik yang bermutu lahir dari data-data yang akurat. Namun, data-data yang diberikan kepada para pemimpin politik seringkali tidak akurat, sehingga kebijakan yang dibuat pun akhirnya tidak menyelesaikan masalah yang ada, justru memperbesarnya. Jarak antara data, yang biasanya berupa statistik, dengan kenyataan di lapangan inilah yang bisa diperkecil dengan gaya politik Blusukan.
Apa yang ditangkap statistik seringkali berbeda, dan bahkan bertentangan, dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat luas. Inilah salah satu masalah politik di Indonesia, dan juga di berbagai belahan dunia lainnya, yang seringkali diabaikan, karena kemalasan berpikir kritis. Dapat juga dikatakan, politik “Blusukan” ini adalah politik kritis yang menolak untuk tunduk patuh pada data statistik ciptaan para birokrat, dan berusaha sendiri mencari apa yang nyata terjadi.
Politik “Blusukan” juga memungkinkan para pemimpin politik bertatap muka langsung dengan warganya. Interaksi ini tentu saja membangun kedekatan dan rasa percaya, yang amat penting sebagai pengikat masyarakat, supaya tak mudah pecah, dan bisa bekerja sama menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Hal ini dapat dikatakan bahwa rasa percaya dan kedekatan ini adalah fondasi dari masyarakat demokratis.
Dengan politik “Blusukan”, para pemimpin politik bisa memeriksa langsung, apakah keputusan yang telah ia buat dijalankan dengan baik atau tidak. Dari sudut pandangan metode berpikir ilmiah, ini disebut juga verifikasi. Banyak pemimpin lupa memeriksa lagi, apakah kebijakan yang telah dibuat sungguh membantu masyarakat atau tidak. Dengan politik Blusukan, gaya lama semacam ini bisa dihindari.


Gaya kepemimpinan “Blusukan” sebagai perspektif gaya kepemimpinan Transformasional”
Implementasi kepemimpinan transformasional ini bukan hanya tepat dilakukan di lingkungan birokrasi, tetapi juga di berbagai organisasi yang memilik banyak tenaga potensial dan berpendidikan. Secara organisasional, Leitwood dan Janzi (1990) bahwa penerapan model kepemimpinan ini sangat bermanfaat untuk (1) membangun budaya kerjasama dan profesionalitas diantara pegawai, (2) memotivasi pimpinan untuk mengmbangkan diri, dan (3) membantu pimpinan memecahkan masalah secara efektif. Implementasi kepemimpinan transformasional dengan budaya kerjasama dan profesionalitas, pemimpin akan selalu memfasilitasi pegawainya untuk berdialog, berdiskusi, dan merencanakan pekerjaan bersama. Kerjasama yang terbentuk dari kegiatan ini akan memudahkan mereka saling mengingatkan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan. Kebersamaan ini ini juga dilakukan dalam merumuskan visi dan misi organisasi, sehingga komitmen lebih mudah terbangun. Dalam kepemimpinan “Blusukan juga dikatakan demikian juga yang mana Politik “Blusukan” juga memungkinkan para pemimpin politik menumbuhkembangkan para anggotanya untuk melaksanakan berbagai kebijakan sesuai dengan visi pemimpin dan organisasi tersebut besertas masyarakatnya. Hal ini pemimpin benar-benar memanusiakan manusia dengan berbagai komunikasi yang sangat baik. Interaksi ini tentu saja membangun kedekatan dan rasa percaya, yang amat penting sebagai pengikat masyarakat, supaya tak mudah pecah, dan bisa bekerja sama menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Hal ini dapat dikatakan bahwa rasa percaya dan kedekatan ini adalah fondasi dari masyarakat demokratis. Hal ini mengapa dikatakan kepemimpinan “Blusukan” sebagai perspektif gaya kepemimpinan transformasional, karena memang terdapat keterkaitan satu sama lain.

                  D.    Kesimpulan
                     a)      Kesimpulan
            Sesuai dengan dasar teori, penelitian yang relevan, dan data-data akurat dari surat kabar dapat  dikatakan bahwa gaya kepemimpinan “Blusukan” merupakan perspektif gaya kepemimpinan transformasional. Hal ini dapat dijelaskan dari berbagai faktor gaya kepemimpinan “Blusukan”  merupakan bagian dari gaya kepemimpinantransformasional. Mulai dari karismatik¸ inspirasional, stimulasi intelektual, perhatian secara individual merupakan modal yang utuh dalam gaya kepemimpinan “Blusukan”

                  E.     Referensi

Wibawa. Jurnal Manajemen dan Kepemimpinan Transaksional dan Kepemimpinan
Transformasional, 4-11

Utami. (2005). Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional Terhadap Motivasi Kerja Karyawan Pada Pt Trade Servistama Indonesia-Tangerang

Baswedan. (2011, Juli  11). Peringatan Pada Pemimpin. Kompas, 6


Mustafa (2013). Diklat Provinsi jawa Tengah Kepemimpinan Berani Dan Transformasional Perspektif Gaya Blusukan Jokowi

Wagimo dan Djamaludin. Dalam Jurnal Psikologi Hubungan Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional dengan Motivasi Bawahan di Militer, 112









0 comments:

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 Yosep Heri Kristianto
Theme by Yusuf Fikri